Oleh HM Rizal Fadillah
Dalam Hadits Qudsi Riwayat Bukhari, Muslim, dan Ahmad Allah SWT menyatakan antara lain “...Orang yang berpuasa akan mendapat dua kegembiraan. Apabila berbuka ia merasa gembira (idza afthara fariha). Dan apabila bertemu dengan Allah, ia gembira pula karena puasanya (wa idza laqiya rabbahu fariha bishoumihi)”.
Ketika seseorang berbuka, maka yang ada adalah kenikmatan yang dirasakan saat itu karena ia telah melepaskan dahaga atau enaknya hidangan yang dimakannya. Haus dan beratnya hal hal yang harus dijaga seharian selama berpuasa seolah tak berarti dan telah hilang semua. Begitu juga setelah ditunaikan ibadah selama sebulan penuh, dengan tibanya hari raya iedul fitri, maka segala ‘penderitaan’ selama sebulan seolah tak pernah ada. Demikianlah sesungguhnya yang dirasakan adalah saat itu, saat yang terakhir.
Dalam Hadits Qudsi shahih yang lain cukup menarik tergambarkan bahwa Allah mengingatkan kita untuk mewaspadai saat saat akhir seperti di atas. Anas Bin Malik menyebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda “Sebagian orang orang penyembah kenikmatan dunia, yang akan menjadi penghuni neraka, dipanggil pada hari Kiamat. Ia dibenamkan satu kali benaman ke dalam neraka. Lalu ditanya kepadanya ‘Hai manusia, apakah engkau merasakan ada kebaikan barang sedikitpun ? Apakah masih terasa nikmat yang engkau rasakan dulu itu ? Dia menjawab ‘Tidak ada wahai Tuhanku ! Aku sama sekali tidak merasakan ada kebaikan yang pernah kurasakan dan terasa tidak ada kenikmatan yang pernah aku rasakan’. Lalu dipanggilah orang yang paling sengsara di dunia namun calon ahli surga. Dia dibenamkan ke dalam surga satu kali. Kemudian dia ditanya ‘Wahai manusia ! Apakah engkau merasakan kesengsaraan ? Pernahkah engkau merasakan kesusahan luar biasa ? Dia menjawab ‘Tidak pernah wahai Tuhan! Sama sekali aku tidak pernah merasa sengsara dan tidak merasakan kesusahan” (HQR Muslim, Ahmad, dan Ibnu Hiban).
Dari Hadits ini jelaslah bahwa senang dan susah itu dirasakan pada akhirnya. Ini tentu menjadi alasan bahwa kita sebagai makhluk ciptaan Allah patut untuk berkeyakinan pada apa apa yang dijanjikan Allah tentang hidup di kemudian hari. Tidak terbuai oleh fatamorgana kehidupan sekarang dan tidak pula berputus asa dengan apa yang menimpa saat ini.
Teringat kita bagaimana pelajaran dari perjalanan Nabi Musa dengan Nabi khidr. Betapatidak mengertinya Nabi Musa dengan peristiwa yang bermuara makna pada akhirnya. Baik ketika perahu dibocorkan, ketika anak dibunuh, maupun ketika rumah buruk dibangun. Semua direspons negatif, penuh pertanyaan dan dikritisi. Bagi Musa pejuang kebenaran dankeadilan sungguh tidak bisa diterima perbuatan “sang Guru” yang membocorkan perahu milik nelayan miskin dan membunuh anak yang tak berdosa.
Ini adalah suatu bentuk kezaliman. Namun setelah Nabi Khidr menjelaskan akhirnya mengerti juga Nabi Musa akan nilai tinggi pelajaran kehidupan itu. Membocorkan perahu adalah tindakan penyelamatan agar perahu “jelek” tersebut tak terampas oleh penguasa otoriter. Membunuh anak adalah perbuatan untuk menyelamatkan sang anak agar tak kafir saat dewasa dan tak mengkafirkan orang tuanya. Begitu juga rumah “reyod” di lokasi yang jauh dari sana sini dibangun untuk kebaikan anak yatim yang kelak akan menemukan harta di rumah itu. Seluruhnya adalah untuk dirasakan bahagia di akhir.
Shaum Ramadhan kita akan berakhir. Optimalisasi ibadah saat ini adalah pilihan cerdas. Bulan yang penuh berkah dan bertaburan bonus dari Allah ini sebentar lagi akan meninggalkan kita. Alangkah sayang jika kalimat perpisahannya adalah kesia-siaan, bukan khazanah makna. Begitu indah perintah ibadah dari Allah ini. Kesehatan, ketabahan, saling menyayangi, hidup berbagi, serta kemudahan rezeki sangat terasa mendatangi. Baru kita mengerti mengapa para sahabat menjadikan Ramadhan sebagai terminal.
Enam bulan sebelum tiba, mereka menanti-nanti datangnya Ramadhan. Enam bulan setelah lewat mereka masih terikat dengan Ramadhan, khawatir amal shaum tak diterima dan berharap hasil Ramadhan menjadi modal untuk menjangkau kasih sayang dan ampunan Allah SWT sampai Ramadhan berikutnya.
Bahagia di akhir merupakan tantangan sekaligus harapan. Mereka yang memandang ada kebahagiaan di akhir, akan memancarkan cahaya optimistik di wajahnya. Melangkah dengan pasti menebar kebajikan ke kanan dan ke kiri. Sebenarnya kita tidak perlu bersusah payah menarik-narik tangan Ilahi, karena Allah lah yang akan menarik badan dan jiwa sang hamba ke haribaan-Nya yang abadi.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung !
Silakan berkomentar dengan kata kata yang baik dan jangan spam