Oleh KH A Hasyim Muzadi
“Kafya tathlubuhul ‘iwadha ‘alaa ‘amalin huwa mutashaddiqun bihii ‘alayka.”
Bagaimana mungkin engkau menuntut imbalan amal, padahal Allah yang menyedekahkan amal itu kepadamu?”
-Shekh As-Sakandary-
Hidup merupakan sarana untuk ujian. Bahkan, mati pun didesain oleh Allah untuk kelanjutan ujian di dunia. Oleh sebab itu, tak ada seorang pun--selain para nabi dan rasul tentunya--yang benar-benar mendapatkan hasi final sebuah ujian dunia sampai Allah yang akan menentukan sebagai Ahkamul Hakimin kelak di akhirat.
Karena situasi inilah maka kita disarankan berharap dan berdoa sekiranya Allah berkenan menutup mata kita kelak dengan husnul khaatimah. Artinya, ujian ini ditentukan hasilnya di ujung kehidupan.
Mereka yang berkesempatan mendapatkan jabatan selama di dunia, sejatinya ia tengah memperoleh bahan ujian terkait jabatan dan kekuasaan. Ia akan ditanya bagaimana memperoleh amanat itu serta untuk apa jabatan dan kekuasaannya digunakan.
Jabatan presiden, gubernur, bupati, wali kota, camat, hingga lurah dan kepala desa adalah amanat. Karena, pada dasarnya Allah pemilik segala kekuasaan ini. “Tu’thil mulka man tasyaa--Engkau menganugerahi kekuasaan kepada siapa yang Engkau mau.”
Mereka yang memiliki kesehatan raga, cantik, ganteng, atletis, selalu tampil segar bugar dalam setiap keadaan dan segala cuaca, memperoleh ujian dengan kesempurnaan fisik. Sebagaimana pemilik jabatan dan kekuasaan, pemilik kesempurnaan fisik termasuk kelompok yang tidak banyak di kalangan manusia.
Kalau Allah berkehendak, kapan saja jabatan, kekuasaan, dan kesempurnaan fisik bisa Dia ambil kembali. Tak ada kekuataan yang mampu menolak jika Allah sudah berkehendak.
Hanya, kadang-kadang sebagian dari kita suka tidak menyadari atau pura-pura tidak sadar bahwa Allahlah yang mengatur kehidupan ini. Mereka yang menduduki jabatan tertentu dalam pemerintahan sering bermimpi bisa mempertahankan itu selama mereka inginkan.
Namun, karena aturan tidak memungkinkan untuk itu, sering kita temukan seorang kepala daerah menyiasatinya dengan memindahkan jabatan tersebut kepada istrinya, anak, menantu, atau keponakannya. Untuk itu, segala cara dihalalkan.
Demikian pula dengan mereka yang berkesempatan menjadi kaya. Allah tengah menitipkan kekayaan dunia itu di tangannya sebagai bahan ujian. Pada saatnya sebagai Pemilik, Allah akan menagih dan meminta kembali kekayaan itu. Menjadi kaya dan bernasib miskin bukan pilihan, tetapi amat berdekatan dengan takdir.
Kalau Allah berkenan, seseorang bisa menjadi kaya dan seseorang bisa bernasib sebaliknya. “Laa maani’a limaa a’tha wa laa mu’thiya limaa mana’a--Tak ada yang melarang terhadap apa yang Allah beri dan tak ada yang bisa memberi jika Allah melarangnya.”
Jabatan, kekuasaan, kesempurnaan fisik, serta melimpahnya harta benda, semua ini hanya ujian. Bisa karena jabatan kita celaka, bisa karena kekuasaan kita menjadi hina, bisa karena fisik kita sombong, dan bisa juga karena harta kita jatuh ke jurang kekufuran.
Termasuk, jika Allah menganugerahkan ilmu dan ketekunan dalam ibadah. Dua kekayaan ruhani ini bisa menyebabkan seseorang menjadi ulama suu’ dan bisa karena cap tekun beribadah seseorang merasa paling berhak memperoleh balasan dari Allah.
Padahal, hidup ini adalah ujian. Jabatan, kekuasaan, kesempurnaan fisik, keberlimpahan harta benda, ilmu yang tinggi, serta ketekunan beribadah adalah medium sekaligus fasilitas yang disiapkan Allah untuk kita agar dapat lulus dengan predikat husnul khaatimah.
Selain itu, berhasil menjadi hamba yang rida kepada Allah dan diridai oleh-Nya. Bahkan ,jika kita mampu menjadi pejabat yang baik serta menunaikan tugas sepenuh hati demi kemaslahatan umat, rasanya tak layak berharap imbalan dari Allah. Bukankah jika kita bisa menjadi pejabat yang baik itu juga karena karunia Allah kepada kita?
Bukankah ketika kekuasaan dapat kita pertanggungjawabkan dengan benar dan manfaatnya dirasakan maksimal oleh umat itu juga karena kebaikan Allah kepada kita? Lantas, masih pantaskah kita berharap imbalan karena mampu menjalankan amanah ini dengan benar dan baik? Bukankah kemampuan untuk itu juga karena kebaikan Allah kepada kita?
Demikian, mereka yang ilmunya tinggi dan ibadahnya tekun. Ketinggian ilmu dan ketekunan beribadah adalah anugerah Allah. Itulah urgensi ajaran Shekh As-Sakandary yang penulis kutip di awal refleksi ini.
Bukankah itu sudah cukup untuk menjadi bukti bahwa ketika tengah menghadapi ujian sekali pun, Allah tetap mengalirkan anugerah kebaikan untuk kita. Karena itu, seluruh cinta kita seharusnya hanya untuk Allah. Mengapa? Karena Allahlah pemilik jabatan, kekuasaan, pemberi kesempurnaan fisik, ilmu yang tinggi, serta ketekunan beribadah dan anugerah lainnya.
Kalau ingin terus menjabat, berharaplah kepada Allah. Kalau kita ingin terus berkuasa, memohonlah kepada Allah. Kalau ingin terus tampan dan cantik maka tak ada tempat kita bergantung, kecuali kepada Allah.
Ketika membuat pengantar kitab al-Mahabbah-nya, Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali menulis, “Sesungguhnya kecintaan kepada Allah adalah tujuan puncak dari seluruh maqam dan kedudukan yang paling tinggi. Sebab, setelah diraihnya kecintaan maka tidak ada lagi maqam yang lain, kecuali buah dari kecintaan itu sendiri.”
Rindu dan rida kepada-Nya hanya buah kecintaan kepada Allah. Sementara, tobat, sabar, zuhud, wara’, hanyalah maqam pengantar menuju kecintaan kepada Allah. Ajakan
As-Sakandari--biasa disebut Ibnu ‘Athoillah--tentang imbalan Allah dan ajaran Imam Ghazali tentang cinta Allah merupakan jalan termudah bagi kita untuk bisa melalui ujian hidup dengan benar agar kelak Allah berkenan menganugerahi predikat husnul khaatimah. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung !
Silakan berkomentar dengan kata kata yang baik dan jangan spam