Menyaksikan kreativitas dan inovasi hasil riset para remaja, kita hanya bisa geleng-geleng kepala. Takjub, karena inovasi yang mereka hasilkan sederhana, tetapi menjadi solusi berbagai persoalan yang ada di masyarakat. Mereka pun masih berusia sangat belia, baru belasan tahun.
Naufal Rasendriya Apta R (15) dan Archel Valiano (15), misalnya, baru duduk di kelas IX SMP Islam Al Azhar 26, Yogyakarta. Namun, keduanya bisa menghasilkan karya yang membuat decak kagum pengunjung maupun dewan juri Kompetisi Ilmiah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) 2013.
Naufal dan Archel menawarkan helm untuk pengendara sepeda motor ataupun sepeda yang dilengkapi lampu sein atau rating di telinga kiri dan kanannya.
Mereka memodifikasi alat sensor yang dapat menghidupkan lampu sein di helm. Uniknya, pengendara cukup menggelengkan kepala ke kiri atau ke kanan saat hendak berbelok sesuai arah, maka lampu sein menyala. Jika sudah tidak dipakai, pengendara tinggal menganggukkan kepala ke depan dua kali, maka lampu sein akan mati.
”Kami buat helm ini supaya bisa mengurangi angka kecelakaan di jalan raya,” kata Naufal yang atas karyanya ini, dia diganjar menjadi juara kedua kategori National Young Inventor Award (NYIA) Ke-6.
Di ajang NYIA beragam karya ditawarkan siswa SD, SMP, dan SMA sederajat berusia 8-18 tahun. Untuk mengatasi kejahatan, misalnya, siswa SMAN 6 Yogyakarta menawarkan gelang anti-penculikan dengan sensor alarm otomatis dan sandal antimaling. Ada juga sistem pengamanan terhadap benda pasif maupun aktif tanpa menggunakan kunci yang ditawarkan siswa SMA Dharma Karya, Tangerang Selatan.
Siswa SMAN 6 Yogyakarta juga membuat 3 in 1 shoes, yakni sepatu yang bisa dimodifikasi untuk tiga penampilan, iBlind yakni komunikasi melalui layanan pesan singkat (short message service/SMS) berformat huruf braille untuk penyandang tunanetra yang juga tunarungu. Ada pula kursi roda hidrolik yang memudahkan penyandang cacat untuk pindah sendiri ke tempat tidur tanpa bantuan orang lain.
Putri Khusna Millaty, siswa MAN 2 Kudus, Jawa Tengah, menciptakan alat pembelah durian. Cara kerja alat ini mengikuti prinsip payung terbalik.
”Anak nakal”
Menjadi juara dalam Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) dalam Kompetisi Ilmiah LIPI, bagi para peserta, bukan sekadar meraih hadiah dan piagam penghargaan. Tantangan terberat justru melawan rasa takut, ejekan orang lain, sulit mencari pembimbing, hingga terbatasnya fasilitas.
Naufal dan Archel yang masih SMP, umpamanya, sempat merasa takut menghadapi peserta lain yang umumnya siswa SMA/MA tersohor.
”Menyuntikkan semangat kepada mereka butuh kesabaran,” kata Ferry Kurniawan, guru Fisika SMP Islam Al Azhar yang juga pembimbing Naufal dan Archel.
Tak hanya juara dalam mengatasi ketakutan, mereka juga juara karena bisa mengatasi penolakan dari pimpinan sekolah yang meragukan potensi dua remaja yang dicap ”anak nakal” di sekolahnya.
Ferry mengisahkan pimpinan sekolah yang lama sempat menolak Naufal dan Archel mewakili sekolah untuk ikut Kompetisi Ilmiah LIPI. Pimpinan sekolah tersebut menganggap yang layak dikirim adalah anak-anak yang juara. Sebab, prestasi Naufal dan Archel di kelas biasa-biasa saja dan suka usil sehingga dicap ”anak nakal”.
”Sebenarnya mereka punya potensi yang bagus untuk eksperimen. Itulah yang saya lihat di diri mereka,” kata Ferry. ”Keberhasilan Naufal dan Archel ini akan jadi inspirasi buat banyak orang,” tambah Ferry.
Bogie Soedjatmiko Eko Tjahjono, Ketua Pelaksana Kompetisi Ilmiah LIPI 2013, mengatakan hasil karya di ajang NYIA berpotensi paten. Karya tersebut berpotensi untuk diproduksi massal. Sayang, belum banyak perusahaan yang melirik potensi peneliti remaja ini. Meski demikian, ada pula hasil-hasil inovasi remaja yang kemudian diproduksi massal seperti helm berpendingin.
Ajang penelitian remaja oleh LIPI ini tak hanya didominasi peserta di bidang sains dan teknologi. Para remaja yang berminat di penelitian sosial juga mendapat tempat dalam LKIR dan Pemilihan Peneliti Remaja Indonesia (PPIR)
Di ajang LKIR yang memasuki penyelenggaraan ke-45, minat peneliti remaja memasukkan karya cukup tinggi, lebih dari 1.000 karya tahun ini.
Rizki Muliyawati dan Dea Despianti, siswa SMAN 1 Muncang, Lebak, Banten, misalnya, melakukan penelitian terhadap para petambang pasir tradisional di Haurgajrug Cipanas, Kabupaten Lebak, Banten. ”Saya harus bertahan di sekolah sampai malam untuk membuat laporan penelitian karena di rumah tidak ada komputer dan laptop,” ujar Rizki yang meraih juara kedua LKIR kategori Ilmu pengetahuan Sosial dan Kemanusiaan.
”Indonesia harus memperhatikan remaja-remaja hebat ini. Menyalakan semangat mereka agar terus berkarya,” kata Kepala LIPI Lukman Hakim.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung !
Silakan berkomentar dengan kata kata yang baik dan jangan spam