Mulanya ia memeluk agama Islam karena dihadapkan pada pilihan yang gambling. Kini, Yosephine Cristanti terus belajar menjadi Muslimah yang kaffah.
“Aku tidak mau main-main. Aku telah memilihnya, dan aku harus mempertanggungjawabkan pilihanku," ujarnya mantap saat berbincang dengan Republika.
Ditemui di sela waktu senggangnya bersama suami dan kedua putrinya di kawasan Depok, Jawa Barat beberapa waktu lalu, Yosephine terlihat anggun dengan terusan biru dipadu jilbab berwarna senada. Senyum pada wajah ramahnya seolah mewakili kebijaksanaan yang berhasil dipelajarinya dari sebuah perjalanan berharga menuju Islam. Dan ia terlihat bersemangat untuk membaginya pada Republika.
Benar saja. Hanya dengan sebuah pertanyaan singkat, cerita tentang rute panjang perjalanan spiritualnya segera mengalir dari mulut Yosephine. “Semua terasa seperti taruhan pada mulanya,” ujarnya mengawali cerita.
Perempuan kelahiran Semarang, 20 Mei 1976 silam ini dibesarkan di lingkungan Katolik. Ia juga belajar di sekolah-sekolah Katolik, sebelum akhirnya menjadi mahasiswa di Universitas Diponegoro, Semarang. Meski sempat menjadi tenaga honorer di sebuah dinas pemerintahan atas dorongan orang tuanya, perempuan berpendirian keras ini memutuskan mengejar mimpinya dengan caranya sendiri.
Ia keluar dari pekerjaannya, melepaskan mimpi kedua orang tuanya yang berharap dirinya menjadi pegawai negeri. Hingga ia menemukan sebuah peluang kerja dari sebuah surat kabar yang mendorongnya meninggalkan Semarang, menuju Ibukota.
Sumber
“Aku tidak mau main-main. Aku telah memilihnya, dan aku harus mempertanggungjawabkan pilihanku," ujarnya mantap saat berbincang dengan Republika.
Ditemui di sela waktu senggangnya bersama suami dan kedua putrinya di kawasan Depok, Jawa Barat beberapa waktu lalu, Yosephine terlihat anggun dengan terusan biru dipadu jilbab berwarna senada. Senyum pada wajah ramahnya seolah mewakili kebijaksanaan yang berhasil dipelajarinya dari sebuah perjalanan berharga menuju Islam. Dan ia terlihat bersemangat untuk membaginya pada Republika.
Benar saja. Hanya dengan sebuah pertanyaan singkat, cerita tentang rute panjang perjalanan spiritualnya segera mengalir dari mulut Yosephine. “Semua terasa seperti taruhan pada mulanya,” ujarnya mengawali cerita.
Perempuan kelahiran Semarang, 20 Mei 1976 silam ini dibesarkan di lingkungan Katolik. Ia juga belajar di sekolah-sekolah Katolik, sebelum akhirnya menjadi mahasiswa di Universitas Diponegoro, Semarang. Meski sempat menjadi tenaga honorer di sebuah dinas pemerintahan atas dorongan orang tuanya, perempuan berpendirian keras ini memutuskan mengejar mimpinya dengan caranya sendiri.
Ia keluar dari pekerjaannya, melepaskan mimpi kedua orang tuanya yang berharap dirinya menjadi pegawai negeri. Hingga ia menemukan sebuah peluang kerja dari sebuah surat kabar yang mendorongnya meninggalkan Semarang, menuju Ibukota.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung !
Silakan berkomentar dengan kata kata yang baik dan jangan spam