Hakikat hidup adalah belajar. Hakikat belajar adalah proses transformasi diri menuju peningkatan kapasitas intelektual, keluhuran moral, kedalaman spiritual, kecerdasan sosial, keberkahan profesional, dan perubahan sosial menuju khaira ummah (umat terbaik). Dengan belajar, manusia bisa hidup bermartabat dan membangun peradaban yang bersendikan nilai-nilai ketuhanan dan kemanusiaan.
Perintah Allah SWT yang pertama kepada Nabi Muhammad SAW adalah membaca. (QS al-Alaq [96]:1-6). Perintah ini sangat penting karena inti belajar adalah membaca. Tidak ada proses pembelajaran yang tidak melibatkan aktivitas pembacaan. Dalam Islam, belajar adalah ibadah. "Menuntut ilmu itu (belajar) wajib bagi Muslim dan Muslimah." (HR Muslim).
Perintah membaca tersebut sarat dengan adab (etika) mulia. Tidak semua membaca itu disebut belajar atau mencari ilmu. Alquran mula-mula mengaitkan perintah membaca dengan bismi rabbik (atas nama Tuhanmu). Artinya, adab belajar mengharuskan pelajar untuk meneguhkan niat yang ikhlas karena semata-mata mengharap ridha Allah SWT, agar ilmu yang diperoleh membuahkan keberkahan dan memberi manfaat bagi orang lain.
Imam Syafi’i (150- 204 H) pernah “curhat” kepada gurunya, Waqi’ mengenai hafalannya yang buruk. Sang guru menasihatinya agar meninggalkan maksiat. Kata sang guru, ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah itu tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat. Dengan demikian, belajar harus jauh dari perbuatan maksiat agar apa yang dipelajari menjadi “cahaya” yang dapat menerangi jalan hidup si pembelajar.
Selain bismi rabbik dan menjauhi maksiat, pelajar juga harus senantiasa berperilaku yang baik (husnul adab), rajin, tekun, rendah hati, dan selalu mengamalkan ilmunya. “Ilmu yang tidak diamalkan itu bagaikan pohon yang tidak berbuah.”
Imam Syafi’i juga menegaskan bahwa ilmu itu bukan yang dihafal dalam pikiran, tetapi yang bermanfaat dalam perbuatan. Sabda Nabi SAW, “Siapa yang bertambah ilmunya, tetapi tidak bertambah petunjuknya (amalnya tidak semakin baik), maka ia hanya akan semakin jauh dari Allah.” (HR ad-Darimi).
Belajar menuntut optimalisasi kecerdasan, kesungguhan, ketekunan, dan kesabaran karena belajar itu bukan merupakan proses yang instan, (langsung berilmu) tetapi memerlukan kerja ikhlas, keras, dan cerdas.
Imam Syafi’i, pernah bersyair, “Engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali terpenuhinya enam hal, yaitu: kecerdasan, antusiasme (kesungguhan), kesabaran, bekal yang cukup, bimbingan guru, dan waktu yang lama.”
Jadi, belajar itu bukan sekadar datang ke sekolah atau kampus untuk mendengar dan mencatat apa yang disampaikan guru, melainkan juga berusaha mengembangkan pemikiran, pengetahuan, kepribadian, moralitas, dan profesionalitas.
Karena belajar itu ibadah, maka menurut Imam Ja’far as-Shadiq, belajar itu harus dimulai dengan thaharah (pembersihan diri) dan berwudhu agar terhindar dari godaan setan. Adab lainnya adalah menghormati guru dan ulama. Seorang pelajar juga dianjurkan untuk berlapang dada (toleran) dalam menghadapi perbedaan pendapat dan pemikiran. Wallahu a’lam
Perintah Allah SWT yang pertama kepada Nabi Muhammad SAW adalah membaca. (QS al-Alaq [96]:1-6). Perintah ini sangat penting karena inti belajar adalah membaca. Tidak ada proses pembelajaran yang tidak melibatkan aktivitas pembacaan. Dalam Islam, belajar adalah ibadah. "Menuntut ilmu itu (belajar) wajib bagi Muslim dan Muslimah." (HR Muslim).
Perintah membaca tersebut sarat dengan adab (etika) mulia. Tidak semua membaca itu disebut belajar atau mencari ilmu. Alquran mula-mula mengaitkan perintah membaca dengan bismi rabbik (atas nama Tuhanmu). Artinya, adab belajar mengharuskan pelajar untuk meneguhkan niat yang ikhlas karena semata-mata mengharap ridha Allah SWT, agar ilmu yang diperoleh membuahkan keberkahan dan memberi manfaat bagi orang lain.
Imam Syafi’i (150- 204 H) pernah “curhat” kepada gurunya, Waqi’ mengenai hafalannya yang buruk. Sang guru menasihatinya agar meninggalkan maksiat. Kata sang guru, ilmu itu cahaya, dan cahaya Allah itu tidak akan diberikan kepada orang yang berbuat maksiat. Dengan demikian, belajar harus jauh dari perbuatan maksiat agar apa yang dipelajari menjadi “cahaya” yang dapat menerangi jalan hidup si pembelajar.
Selain bismi rabbik dan menjauhi maksiat, pelajar juga harus senantiasa berperilaku yang baik (husnul adab), rajin, tekun, rendah hati, dan selalu mengamalkan ilmunya. “Ilmu yang tidak diamalkan itu bagaikan pohon yang tidak berbuah.”
Imam Syafi’i juga menegaskan bahwa ilmu itu bukan yang dihafal dalam pikiran, tetapi yang bermanfaat dalam perbuatan. Sabda Nabi SAW, “Siapa yang bertambah ilmunya, tetapi tidak bertambah petunjuknya (amalnya tidak semakin baik), maka ia hanya akan semakin jauh dari Allah.” (HR ad-Darimi).
Belajar menuntut optimalisasi kecerdasan, kesungguhan, ketekunan, dan kesabaran karena belajar itu bukan merupakan proses yang instan, (langsung berilmu) tetapi memerlukan kerja ikhlas, keras, dan cerdas.
Imam Syafi’i, pernah bersyair, “Engkau tidak akan memperoleh ilmu kecuali terpenuhinya enam hal, yaitu: kecerdasan, antusiasme (kesungguhan), kesabaran, bekal yang cukup, bimbingan guru, dan waktu yang lama.”
Jadi, belajar itu bukan sekadar datang ke sekolah atau kampus untuk mendengar dan mencatat apa yang disampaikan guru, melainkan juga berusaha mengembangkan pemikiran, pengetahuan, kepribadian, moralitas, dan profesionalitas.
Karena belajar itu ibadah, maka menurut Imam Ja’far as-Shadiq, belajar itu harus dimulai dengan thaharah (pembersihan diri) dan berwudhu agar terhindar dari godaan setan. Adab lainnya adalah menghormati guru dan ulama. Seorang pelajar juga dianjurkan untuk berlapang dada (toleran) dalam menghadapi perbedaan pendapat dan pemikiran. Wallahu a’lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung !
Silakan berkomentar dengan kata kata yang baik dan jangan spam