Seiring berjalannya waktu juga berpengaruh kepada pergeseran nilai. Seperti nilai mata uang, harga barang, dan tingkat perekonomian masyarakat terus berubah dari tahun ke tahun. Namun, apakah zakat fitrah juga mengalami perubahan seiring berubahnya perekonomian masyarakat?
Menurut Syekh Yusuf Qardhawi, ketentuan jumlah yang harus dikeluarkan untuk zakat fitrah tidak berubah-ubah karena telah dibatasi oleh ukuran syar’i, yaitu satu sha’ (satu gantang) sebagaimana yang ditentukan oleh Nabi SAW.
Hikmahnya, adalah sebagai berikut: Pertama, bagi bangsa Arab, khususnya orang-orang Badui, pada waktu itu uang mempunyai kedudukan yang terhormat. Maka jika kita meminta kepada salah seorang dari mereka, "Keluarkanlah uang satu dirham atau satu dinar!” Mereka tidak akan dapat mengabulkannya.
Di samping itu, mereka juga tidak mempunyai sesuatu pun selain makanan, seperti anggur, kurma, gandum, dan sebagainya, yang biasa dimakan orang Arab pada waktu itu. Inilah yang mendorong Nabi SAW membatasi (mengukur) zakat fitrah dengan sha’.
Kedua, nilai mata uang, seperti kita ketahui, dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan. Kadang-kadang kita jumpai mata uang real memiliki nilai kurs yang rendah sehingga nilai pembeliannya pun menurun. Tetapi terkadang terjadi sebaliknya, nilai kursnya mengalami kenaikan sehingga nilai beli dan jualnya pun naik.
Maka, apabila hal ini dijadikan ukuran zakat niscaya setiap waktu jumlahnya akan selalu berubah. Karena itulah Nabi SAW memberikan ukuran baku yang tidak akan mengalami perubahan, yaitu sha’. Satu sha’ makanan biasanya cukup untuk mengenyangkan satu keluarga selama sehari.
Makanan pokok yang harus dikeluarkan untuk zakat fitrah tidak terbatas pada jenis tertentu, meskipun Nabi SAW pernah menentukannya pada masa beliau berdasarkan makanan pokok pada waktu itu. Karena itu para ulama mengatakan bahwa mengeluarkan zakat fitrah berupa makanan pokok negeri setempat diperbolehkan, baik berupa beras, gandum, jagung, maupun lainnya.
Sedangkan ukuran satu sha’ itu sama dengan empat cidukan dua tangan lebih sedikit, atau sama dengan dua kilogram makanan, atau hampir lima rithl (lima pound). Selain itu, zakat fitrah ini boleh juga dibayar dengan uang sesuai dengan harganya, demikian menurut mazhab Abu Hanifah.
Bagi Muslim yang memiliki kelapangan rezeki, lebih utama membayar harganya lebih dari satu sha', karena menu makanan pada masa-masa sekarang, misalnya, tidak hanya terbatas pada beras (nasi), tetapi disertai lauk-pauk, sayur, buah, dan sebagainya. Wallahua'lam.
Sumber
Menurut Syekh Yusuf Qardhawi, ketentuan jumlah yang harus dikeluarkan untuk zakat fitrah tidak berubah-ubah karena telah dibatasi oleh ukuran syar’i, yaitu satu sha’ (satu gantang) sebagaimana yang ditentukan oleh Nabi SAW.
Hikmahnya, adalah sebagai berikut: Pertama, bagi bangsa Arab, khususnya orang-orang Badui, pada waktu itu uang mempunyai kedudukan yang terhormat. Maka jika kita meminta kepada salah seorang dari mereka, "Keluarkanlah uang satu dirham atau satu dinar!” Mereka tidak akan dapat mengabulkannya.
Di samping itu, mereka juga tidak mempunyai sesuatu pun selain makanan, seperti anggur, kurma, gandum, dan sebagainya, yang biasa dimakan orang Arab pada waktu itu. Inilah yang mendorong Nabi SAW membatasi (mengukur) zakat fitrah dengan sha’.
Kedua, nilai mata uang, seperti kita ketahui, dari waktu ke waktu selalu mengalami perubahan. Kadang-kadang kita jumpai mata uang real memiliki nilai kurs yang rendah sehingga nilai pembeliannya pun menurun. Tetapi terkadang terjadi sebaliknya, nilai kursnya mengalami kenaikan sehingga nilai beli dan jualnya pun naik.
Maka, apabila hal ini dijadikan ukuran zakat niscaya setiap waktu jumlahnya akan selalu berubah. Karena itulah Nabi SAW memberikan ukuran baku yang tidak akan mengalami perubahan, yaitu sha’. Satu sha’ makanan biasanya cukup untuk mengenyangkan satu keluarga selama sehari.
Makanan pokok yang harus dikeluarkan untuk zakat fitrah tidak terbatas pada jenis tertentu, meskipun Nabi SAW pernah menentukannya pada masa beliau berdasarkan makanan pokok pada waktu itu. Karena itu para ulama mengatakan bahwa mengeluarkan zakat fitrah berupa makanan pokok negeri setempat diperbolehkan, baik berupa beras, gandum, jagung, maupun lainnya.
Sedangkan ukuran satu sha’ itu sama dengan empat cidukan dua tangan lebih sedikit, atau sama dengan dua kilogram makanan, atau hampir lima rithl (lima pound). Selain itu, zakat fitrah ini boleh juga dibayar dengan uang sesuai dengan harganya, demikian menurut mazhab Abu Hanifah.
Bagi Muslim yang memiliki kelapangan rezeki, lebih utama membayar harganya lebih dari satu sha', karena menu makanan pada masa-masa sekarang, misalnya, tidak hanya terbatas pada beras (nasi), tetapi disertai lauk-pauk, sayur, buah, dan sebagainya. Wallahua'lam.
Sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih sudah berkunjung !
Silakan berkomentar dengan kata kata yang baik dan jangan spam